Selasa, 26 April 2011

REFLEKSI HARLAH GP ANSOR KE-77

GP Ansor Tempo Doeloe

Bolehkah ada secercah cahaya kegembiraan bagi kader Ansor di seluruh Nusantara untuk mensyukuri kelahiran yang ke-77 Ansor. Tentu pertanyaan di atas harus menjadi prolog, ketika saat-saat milad GP Ansor, memori kebangsaan terkoyak oleh bom bunuh diri di masjid Mapolresta Cirebon (15/4/2011), disusul bentrokan antara warga dengan TNI di Kebumen akibat sengketa tanah. Tidak jauh sebelumnya, tragedi perusakan masjid Ahmadiyah di Cikeusik dan penyerbuan gereja di Temanggung menusuk cita kebangsaan yang dirajut berabad-abad oleh ulama-ulama yang memilih aliran ahlussunnah wal jama’ah; ulama NU, nenek moyang dan para guru kader-kader Ansor di tanah air.
Secara de facto, Ansor lahir jauh terlebih dahulu daripada NKRI, bahkan lebih tua daripada NU. Choirul Anam (1990) menarasikan historisitas Ansor sejak dari Syubhanul Wathan (Pemuda Tanah Air), Da’watus Syubhan (Panggilan Pemuda), Persatuan Pemuda Nahdlatul Oelama (PPNO), sampai lahirnya Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO). Walaupun secara de jure, Ansor dilahirkan oleh “bapak kandungnya” NU dalam muktamar IX di Banyuwangi 24 April 1934 dengan nama ANO, dan dilahirkan kembali pada acara reuni pemuda bekas ANO di kantor PB ANO Jl Bubutan Surabaya pada tanggal 14 Desember 1949, yang dideklarasikan dengan nama baru; Gerakan Pemuda Ansor.
Seluruh embrio gerakan Ansor dan jam’iyyah NU, lahir pada fase pergerakan nasional yang diawali dengan politik etis pemerintahan kolonialisme Belanda. Boedi Oetomo (1908) didirikan di Surabaya,dianggap sebagai peletak dasar kebangkitan nasional. Di Surabaya pula KH Wahab Hasbullah-guru besar Ansor yang mengilhami dipilihnya nama “Ansor”-menggerakkan santri berorganisasi, memberi warna unik di tengah tumbuhnya berbagai organisasi kepemudaan yang masih bersifat primordial.
Bahkan Boedi Oetomo yang mengusung cita-cita bangsa bermartabat, tetap masih menjadi organisasi elite; kaum priyayi Jawa yang terdidik. Muncul pula Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, dan semua “jong-jong” yang masih bervisi etnosentris-primordialis. Tetapi, nama Syubhanul Wathan dan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), dengan sendirinya telah menunjukkan cita-cita kebangsaan dan cinta tanah air-nya. Ansor lahir memberikan ruh kebangsaan pada jasad NKRI yang terus berdinamika menjawab problematika global.
Maka, ada tiga roh yang membangkitkan agenda kaderisasi Ansor di masa yang akan datang:
Pertama, dengan mengambil spirit Nahdlatul Wathan, pendidikan dan pengkaderan Ansor selalu berorientasi pada pendidikan kebangsaan yang nasionalis, dengan berpijak pada nilai-nilai ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah. Atau dalam bahasa NU, nilai-nilai itu menjadi prinsip tawasssuth dan i’tidal (tengah-tengah), tasammuh (toleran), tawazzun (keseimbangan), dan amar ma’ruf nahi munkar. Demikian pula, dalam setiap pengkaderan, nilai-nilai moderatisme tersebut ditanamkan dalam memperkokoh ke-Ansor-an, ke-NU-an dan ke-Indonesia-an. Menjadi Ansor seratus persen, sekaligus menjadi pemuda Indonesia seratus persen. Ansor harus tampil di garda depan ketika gerakan-gerakan Islam trans-nasional menyerang nilai-nilai nasionalisme yang tertanam dalam tradisi-tradisi umat Islam, dengan modus tabdi’ (pembid’ahan) dan takfir (pengkafiran).
Kedua, dengan spirit Tashwirul Afkar, Ansor terus bergerak dinamis melahirkan kader-kader pemikir, akademisi, intelektual yang akan menjadi modal pembangunan bangsa di tengah pertarungan teknologi global yang modern dan lintas teritorial, juga lintas ruang dan waktu. Indonesia sangat membutuhkan para cendekiawan, saintis, juga ilmuwan yang brilian tetapi juga menghargai indegenous wisdom. Bisa dibayangkan, bagaimana nasib bangsa ini jika saintis muda, ilmuwan muda, cerdas melangit tetapi tidak hormat pada perjuangan dan jasa para ulama dan pahlawan pendahulu, melawan tradisi, dan berorientasi pada fundamentalisme beragama.
Ketiga, dengan roh Nahdlatul Tujjar, Ansor harus mengawal agenda kebangkitan ekonomi yang berbasis kerakyatan. Orientasi ekonomi yang liberal-kapitalistik yang selama ini dijadikan kiblat para penyelenggara negara, harus segera dihentikan, karena bertentangan dengan cita-cita NU dan para founding fathers NKRI. Ansor adalah elemen terpenting dalam memikirkan kedaulatan pangan, krisis energi, dan juga nasib buruh baik dalam dan luar negeri yang terus terdzalimi. q – k. (2808-2011).

*) Gugun El Guyanie, Ketua Departemen Agama dan Ideologi PW GP Ansor DIY, juga Staf peneliti Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Fakultas Hukum UGM.

Tidak ada komentar:

Pengikut