Sabtu, 14 November 2009

Catatan Awal Keterlibatan Banser

Pengantar ke Persoalan

Tindak kekerasan politik dan politik kekerasan yang kadang kala terjadi dalam skala massif, tampaknya menjadi warna yang paling dominan selama berlangsungnya praktek politik regim Orde Baru. Tampilnya kekuatan politik Orde Baru menggantikan regim politik Demokrasi Terpimpin di panggung politik di Indonesia ditandai dengan proses berlangsungnya tindakan yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan, berupa pembantaian terhadap --paling tidak sebanyak ratusan ribu orang-orang yang tergabung dalam organisasi komunis selama kurun waktu tahun 1965-1966. Kendati demikian, proses pembersihan terhadap orang-orang komunis di Indonesia tidak berhenti pada tahun tersebut. Secara fisik proses kekerasan terhadap orang-orang yang berhaluan kiri di Indonesia masih berlangsung hingga menjelang akhir tahun 1960-an, peristiwa operasi Trisula di Blitar Selatan misalnya untuk menyebut salah satu contohnya. [2]
Anehnya pembantaian terhadap warga komunis di Indonesia yang mengawal tampilnya regim politik Orde Baru tidak melibatkan penggunaan modifikasi tehnik yang berhubungan dengan pembunuhan massal seperti penggunaan ruang gas beracun dan tidak ada pula penyelewengan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk melawan manusia seperti eksperimen medis yang mengerikan sebagaimana pembunuhan massal modern yang pernah terjadi di Jerman atas kaum Yahudi oleh Nazi Hitler. Pembantaian warga komunis saat itu juga berbeda dengan ladang pembantaian ala Kamboja. Sementara itu proses kekerasan yang terjadi di Indonesia saat itu dilakukan dengan tidak saja (hanya) menggunakan senjata tajam seperti pisau, celurit maupun pedang, akan tetapi juga menggunakan senjata tumpul seperti pentungan, tongkat dan alat kekerasan lainnya serta menggunakan senjata api. Para korban tidak dibawa sampai beratus-ratus kilometer jauhnya dari tempat tinggal mereka untuk menjemput ajalnya --kendati ada pula yang begitu, akan tetapi sungguh sebagian besar binasa hanya dalam jarak beberapa kilometer bahkan ada yang hanya beberapa meter saja dari rumah mereka sendiri. [3]
Pada awalnya tindak kekerasan politik dan politik kekerasan itu memanfaatkan sikap anti komunis dari kalangan umat Islam Indonesia. Prakteknya dengan memobilisasi berbagai organisasi paramiliter (civilian vigilantes) guna melakukan pengganyangan terhadap warga komunis. Hal itu sangat dimungkinkan, karena pada tingkat tertentu masih tumbuh subur semacam gejala dalam diri masyarakat di Indonesia guna mempersekusi dan mengeksekusi kelompok lain yang menjadi lawan politiknya dengan mengatasnamakan identitas sosial mereka, baik itu agama, ideologi, suku, ras maupun gender. [4] Karenanya tidak salah bila kemudian (ketika) dengan mudah salah satu aparat negara (militer) yang pada era 1960-an sudah mulai memegang peranan terpenting dalam kehidupan sosial-politik dan ekonomi nasional melakukan proses mobilisasi politik kepada salah satu kekuatan politik dengan dengan gagasan politik militer. Mobilisasi politik tersebut dilakukan guna menghabisi kekuatan politik yang dianggap berseberangan dan membahayakan eksistensinya dalam suatu negara.
Kendati dikesankan terdapat kekacauan kehidupan sosial-politik dan ekonomi, namun tidak bisa dipungkiri bahwa peristiwa tragedi kemanusiaan 1965-1966 terjadi begitu cepat dengan pola yang sistematis. Menurut Hermawan Sulistyo pada tingkat pelaku pembantaian di lapangan tidak terdapat struktur jaringan yang ketat, bahkan cenderung longgar. [5] Manakala berlangsung peristiwa tragedi kemanusiaan 1965-1966, pelakunya melibatkan mayoritas komponen bangsa dalam proses tindak kekerasan politik dan politik kekerasan kala itu, bahkan ada yang hanya memanfaatkan momentum belaka. Namun alur yang saya coba bangun adalah berangkat dari pertanyaan apakah ada semacam pola sistematis yang dapat mendorong para pelaku pembantaian di lapangan melakukan tindakan kekerasan yang berupa penghilangan hak hidup di luar jalur hukum? Titik berangkatnya, saya juga akan mulai merunut --bahwa munculnya proses eksekusi langsung dan sewenang-wenang terhadap warga komunis yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan pada pertengahan tahun 1960-an tersebut berakar dari adanya ketegangan kehidupan sosial politik dan ekonomi pada masa sebelumnya. Sebuah rentang masa yang merupakan pemicu dari segala terjadinya tindakan yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan tahun 1965-1966, namun dengan kerangka pertanyaan di atas. Hal ini yang kemudian akan membedakan antara alur tulisan yang dibangun di sini dengan tulisan Hermawan Sulistyo yang lebih menekankan adanya konflik horisontal.
Sebagaimana banyak disebutkan dari berbagai historiografi yang ada: pada paruh akhir tahun 1950-an, sejumlah perwira militer di Sumatera dan Sulawesi menolak kepemimpinan Pemerintahan Pusat dengan mendirikan dewan-dewan militer di beberapa daerah. Sejumlah perwira itu pula yang kemudian mendukung pemberontakan PRRI/Permesta di belahan Sumatera dan Sulawesi tahun 1958, di samping terdapat keterlibatan beberapa tokoh nasional dari kalangan sipil, dari unsur Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Guna meredam pemberontakan tersebut, Jendral AH Nasution mendesak Pemerintah Pusat guna mengambil tindakan disipliner terhadap para pemberontak dan menyelesaikan konflik yang timbul secara berurutan itu dengan menggunakan kekuatan senjata.
Bagai gayung bersambut, tuntutan militer melalui Jendral AH Nasution tersebut ternyata beriringan dengan gagasan Presiden Soekarno mengenai perlunya berbagai kekuatan politik, baik dari kalangan Partai Politik maupun Organisasi Massa guna tunduk dan mengikuti program Pemerintah Pusat secara total. Gagasan itu berupa konsep Demokrasi Terpimpin, yang diduga dapat mengatasi pluralitas kepentingan yang berkembang diantara berbagai kekuatan politik yang ada. (Crouch, 1986, 44). Konsep tersebut berintikan: dipusatkannya seluruh potensi dan kekuatan politik pada lembaga-lembaga negara. Seluruh potensi dan kekuatan politik dipaksa mengikuti garis politik pemerintah atau dilebur. Ulf Shundaussen (1983) berkomentar bahwa pertemuan dari praktek politik yang dijalankan Soekarno dan Nasution itu dianggap sebagai kolaborasi yang menggurat suatu pola kooperasi guna mengubur sistem parlementer.
Adanya praktek kolaborasi politik tersebut ternyata menambah frekuensi dan intensitas ketegangan kehidupan sosial-politik republik pada tahun-tahun berikutnya. Ketegangan tersebut mencapai puncaknya pada tanggal 1 Oktober 1965. Republik ini diguncang dengan adanya peristiwa penculikan dan pembunuhan tujuh putra terbaik TNI Angkatan Darat. Meski sudah banyak interpretasi yang menjelaskan mengenai apa sebenarnya yang terjadi pada pagi dini hari saat itu, namun klaim dari regim politik Orde Baru bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan organ politik yang paling bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa tragedi politik nasional 1 Oktober 1965 tersebut.
Beberapa hari setelah tragedi politik nasional 1 Oktober 1965, militer dengan dukungan penuh dari sejumlah organisasi sipil --yang anti komunis-- membangun koalisi politik guna menghancurkan semua yang berbau komunisme di Indonesia. Sebagian anggota masyarakat yang tergabung dalam PKI dan onderbouw-nya maupun yang menjadi simpatisannya, ironisnya tidak sedikit pula sebagian dari yang (hanya) dituduh sebagai warga komunis ikut dikejar-kejar, ditangkap, dipenjara tentu saja dilakukan dengan proses dan cara diluar batas peri kemanusiaan, bahkan ada pula yang langsung dibunuh. Semua proses tersebut mulai dari penangkapan hingga eksekusi dilakukan tanpa proses pengadilan. Pengabaian proses pengadilan, bahkan cenderung sewenang-wenang dan menafikan nilai-nilai kemanusiaan dalam praktek kekerasan tersebut merupakan aspek terbesar dari segala perilaku saat itu.
Kampanye nasional guna proses pembersihan segala komunis di Indonesia itu berlangsung paling tidak antara tahun 1965-1966. Sehingga hampir setiap hari dalam tahun-tahun itu terdengar yel-yel ganyang PKI, hancurkan PKI, gantung Aidit dan segala macam umpatan yang bernada negatif lainnya kepada PKI. Menurut pikiran konsevatif saja lebih setengah juta jiwa melayang (Wilhelm, 1981, 53) [6] akibat dari perilaku kekerasan yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan itu. soal angka ini memang menjadi perdebatan yang terus menerus. Sebagaimana saya singgung di atas bahwa proses tindakan yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan itu dimungkinkan adanya proses mobilisasi berbagai organisasi paramiliter (civilian vigilantes). Sehingga kesan yang muncul dipermukaan kemudian adalah adanya kekacauan kehidupan sosial-politik yang mengarah pada konflik horizontal. Tidak sedikit banyak ilmuwan dan sejarawan memiliki pandangan seperti itu. [7] Kendati terkesan terdapat kekacauan kehidupan sosial politik yang harus dicatat adalah dalam banyak kasus TNI Angkatan Darat merupakan komponen utama yang terlibat langsung dalam proses pembunuhan warga komunis pada tahun-tahun tersebut. Paling tidak dalam tingkatan praktek yang lebih rendah seringkali TNI Angkatan Darat hanya memberi senjata, latihan dasar (rudimentary) dan dorongan semangat kepada kelompok-kelompok paramiliter sebagai pelaku tindak kekerasan di lapangan.
Adapun salah satu dari organisasi pemuda yang mengalami politisasi dan mobilisasi dalam kekerasan tersebut adalah Barisan Ansor Serba Guna (Banser), anak organisasi dari Nahdlatul Ulama (NU). [8] Padahal NU sebagai salah satu elemen terpenting di Indonesia yang dalam pandangan Presiden Soekarno pada saat menerima tim pencari fakta menyatakan, NU dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan yang berpandangan lebih moderat ketimbang organisasi keagamaan Islam lainnya, dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. [9] Pertanyaan mendasarnya kemudian adalah apa yang menyebabkan secara tiba-tiba Banser organisasi yang berada dalam payung NU terlibat aktif dengan "tulus ikhlash" sebagai aktor "penyumbang" dari tindak kekerasan politik dan politik kekerasan pada tahun 1965-1966? Pertanyaan ini tersebut yang mendasari mengapa saya memilih group ini untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Keterlibatan Banser dalam proses penghilangan nyawa para anggota PKI ekstra yudisial secara nyata terjadi di Jawa Timur --daerah yang merupakan basis dari organisasi kalangan Nahdliyyin, sekaligus basis PKI. Dalam catatan Harold Crouch (1986, 171) di Jawa Timur paling tidak lebih kurang 54.000 orang menjadi korban mati dalam kurun waktu peristiwa kekerasan tahun 1965-1966. [10] Bahkan menurut KH. Muchith Muzadi (sekarang ini) di wilayah eks Karesidenan Malang dan eks Karesidenan Besuki merupakan wilayah yang susah untuk menemukan elit PKI dan onderbouwnya setingkat desa sekalipun pasca berlangsungnya pembersihan terhadap warga PKI. [11] Pertanyaannya kemudian adalah seberapa jauh kadar keterlibatan Banser dalam tindak kekerasan yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan pada tahun 1965-1966?
Oleh karenanya saya mencoba melakukan rekonstruksi praktek kekerasan yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan yang terjadi selama tahun 1965-1966 yang dalam prakteknya melibatkan Banser itu. Lantas, apakah ada latar belakang historis yang menciptakan kekerasan yang dikatakan oleh sebagian orang sebagai tindakan crime agains of humanity itu? Situasi seperti apakah itu? Serta pemahaman macam apa yang mendorong tindakan yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan itu? Adakah pola yang terstruktur yang menjadi pendorong terjadinya tindak kekerasan yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan itu? Secara keseluruhan tragedi kemanusiaan 1965-1966 merupakan gambaran sosial yang sangat kompleks, tidak saja memiliki kaitan dengan perkelahian kehidupan sosial-politik antar masing-masing kekuataan politik, yang ditandai dengan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan, terdapatnya konflik antar elit politik termasuk dalam tubuh TNI Angkatan Darat, demonstrasi Mahasiswa yang terus menerus serta dampak ikutan lainnya yang kesemuanya itu berkaitan erat dengan peristiwa pembantaian warga PKI. Pada tingkat yang lain juga terdapat perkelahian wacana berupa perebutan identitas sosial seperti agama, ideologi dan lain-lain dalam rangka pencarian nation Indonesia yang kesemuanya itu tidak sederhana.
Secara umum penelusuran jejak-jejak kekerasan tahun 1965-1966, saya memotret kekerasan yang terjadi di wilayah Jember, Jawa Timur. Ini dilakukan guna mempermudah penglihatan bagaimana pola kekerasan itu berlangsung selama tahun tersebut. Terlebih daerah tersebut merupakan salah satu daerah basis NU, yang sekaligus wilayah PKI. Dalam penelusuran ini saya menggunakan pendekatan yang berorientasi pada aktor sosial (pelaku dan korban) dari tindak kekerasan politik dan politik kekerasan tahun 1965-1966 yang sekarang masih hidup. Sehingga dalam praktek penulisan nantinya memerlukan analisa tentang bagaimana para aktor sosial saat itu melakukan pengelolaan dan menafsirkan anasir-anasir kehidupan yang melingkupi mereka. Sejauhmana para aktor sosial tersebut memahami situasi yang melingkupinya, baik itu organisasi, ideologi ataupun agama, termasuk interpretasi macam apa yang kemudian muncul saat situasi penuh ketegangan, membunuh atau dibunuh saat itu?
Tentunya cara memperoleh datanya dengan menggunakan oral history, sebuah cara guna memperoleh data dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interviewing). Ternyata bukan merupakan pekerjaan yang mudah untuk melakukan proses wawancara ini. Terlebih lagi dalam tragedi kemanusiaan 1965-1966 merupakan peristiwa yang menyimpan trauma tersendiri bagi kalangan korban. Selain tidak mudah melakukan proses wawancaranya juga terdapat kendala lain yang berupa aspek keamanan informan. [12] Berangkat dari metode tersebut di atas saya berharap mampu menghadirkan perspektif aktor sosial yang terlibat dalam permainan politik saat itu (juga pada saat ini). Pertama, perspektif yang berangkat dari pemahaman macam apa (bias teks maupun non teks) sehingga pelaku mau terlibat melakukan tindakan yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, perspektif atas pemahaman macam apa yang kemudian menyebabkan ia harus menjadi korban dari perilaku tersebut. Selain itu saya juga membaca ulang secara rinci berbagai tulisan baik itu berupa buku maupun klipingan koran yang dapat memberikan informasi sekitar tragedi kemanusiaan 1965-1966.

Situasi Macam Bagaimana Yang Melahirkan Kekerasan?

Fenomena kekerasan menurut konseptualisasi Johan Galtung dapat berlangsung terutama terjadi pada masyarakat yang sedang aktif memantapkan kehadiran birokrasi nasional (state building) dan menggalakkan akumulasi kapital. Sepanjang sejarahnya regim politik Orde Baru tidak saja menunjukkan adanya proses penguatan tapi juga berupaya untuk memantapkan dua hal tersebut di atas. Sehingga kekerasan demi kekerasan menjadi warna yang dominan dalam proses sejarahnya. Kita bisa deretkan berbagai macam kasus kekerasan yang terjadi sepanjang berkuasanya regim politik Orde Baru. Pada dasarnya dua hal yang saya sebutkan di atas merupakan inti dari warisan sejarah pra kemerdekaan: tradisi feodal dan sistem kolonial. Sehingga apa yang dilakukan regim politik Orde Baru merupakan semangat lanjutan dari tradisi feodal dan sistem kolonial. Dua situasi yang sebenarnya pernah dicoba untuk dibongkar dengan semangat Proklamasi kemerdekaan 1945; sebagai upaya segenap bangsa.
Pada dasarnya pula dinamika perjalanan sejarah politik Indonesia semenjak Proklamasi Kemerdekaan 1945 hingga meletusnya tragedi kemanusiaan 1965-1966 menunjukkan gambaran tarik menarik dua kutub yang berlainan. Pertama, kutub yang ingin melanjutkan semangat dari tradisi feodal dan sistem kolonial. Sengaja dilanggengkan --begitulah kira-kira-- mengingat terdapat sekelompok kecil dari elit masyarakat kala itu yang sangat diuntungkan dengan masih berakarnya tradisi feodal dan sistem kolonial. Kedua, kutub yang berupaya untuk meninggalkan warisan tersebut dengan semangat Proklamasi Kemerdekaan 1945.
Selama kurun waktu 1945 hingga paruh akhir 1950-an kita dapat saksikan berbagai proses eksperimentasi guna melahirkan semangat dan cita-cita politik nasional dalam rangka meninggalkan tradisi feodal dan sistem kolonial. Sayangnya alur yang menggambarkan dinamika guna mewujudkan cita-cita sebuah negara bangsa yang dirumuskan pada sejak tahun 1945 bisa dikatakan hilang dalam narasi besar sejarah bangsa ini. Dengan terjadinya tragedi kemanusiaan 1965-1966 lebih memantapkan alur sejarah yang mengarah pada upaya pemantapan kehadiran birokrasi dan penggalakan akumulasi kapital, sekaligus alur sejarah tersebut kemudian menjadi wacana dominan dalam historiografi di Indonesia hingga sekarang.
Kendati banyak kalangan yang menilai periode 1950-1960 (khususnya menjelang pemilu 1955) merupakan awal dari berkembangnya kehidupan demokrasi di Indonesia. [13] Akan tetapi pada tingkat tertentu, dinamika kehidupan sosial-politik pada periode ini merupakan awal dari masa pertentangan (konflik) yang sengit antar komponen bangsa. Masing-masing kekuatan politik yang telah bermetamorfosis menjadi partai politik kemudian membentuk cabang-cabang baru sampai jauh di pelosok pedesaan di negeri ini. Selain itu mereka (partai politik) juga melakukan rapat-rapat raksasa serta melakukan proses rekruitmen anggota baru sebanyak-banyaknya. Pada akhirnya masyarakat terfragmentasi dalam batas-batas politik yang sangat jelas. Paling tidak dalam periode tersebut kekuatan politik partai merupakan cerminan dari garis-garis aliran yang sebelumnya sudah ada. Kalangan santri tercermin dalam Masyumi dan Partai NU, sedangkan untuk kalangan kejawen baik itu priayi maupun abangan tercermin dalam Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan PKI. Pada tingkat yang lain dapat dikatakan semangat altruistik golongan mulai menonjol ketimbang altruistik bangsa. Masing-masing kekuatan politik mulai memperebutkan makna nation atas dasr penonjolan identitas sosialnya, tanpa memberi peluang sedikitpun bagi pemaknaan dari kekuatan di luar dirinya.
Herbert Feith (1957, 13) melukis dengan sangat apiknya mengenai gambaran bagaimana masyarakat politik Indonesia terfragmentasi dengan sangat jelas, khususnya semenjak saat kampanye menjelang pemilu 1955. Adanya semacam garis pemisah tersebut terjadi tidak hanya pada tingkat elit tapi juga hingga sampai pelosok-pelosok pedesaan di Indonesia. Ditambah lagi masa kampanye yang relatif sangat lama (dua tahun) merupakan rentang waktu yang dapat memperkuat masyarakat semakin terfragmentasi ke dalam kelompok masing-masing. Kita bisa saksikan bagaimana kampanye Pemilu pertama kali di Indonesia tersebut secara kuat diwarnai dengan isu-isu politik yang dibungkus dengan agama. Tentunya golongan komunis merupakan sasaran yang paling empuk dari penyerangan oleh kekuatan politik kalangan Islam, khususnya Masyumi. Partai Komunis kemudian dituduh oleh kekuatan Islam dari Masyumi sebagai golongan atheis, yang selalu berusaha memusuhi Islam. [14]
Sementara itu, NU yang telah mengambil langkah berani pada tahun 1952 guna keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai partai politik yang mandiri. [15] Pada periode inilah kyai (NU) berusaha untuk betul-betul tampil menjadi kekuatan politik Islam yang real. [16] Adapun alasan utama keluar dari partai Masyumi dikarenakan kecewa dengan alokasi dan distribusi kekuasaan yang berlaku dalam partai Islam tersebut. Meskipun terdapat kesamaan pandangan dalam praktek politiknya dengan Masyumi namun semenjak proses perpisahan diantara keduanya lebih cenderung berposisi diametral dalam memainkan peranan politiknya. Hal inilah yang menyebabkan kemudian NU juga harus mulai bersikap secara tegas dihadapan semua lawan politiknya. Untuk hal memandang keberadaan komunisme di Indonesia, secara politik NU juga menyerang PKI sebagai organ politik yang anti Islam. Kendati banyak elitnya yang merasa tidak ada persoalan yang signifikan terhadap golongan komunis ketimbang dengan golongan muslim reformis-modernis yang paling dianggap sebagai rival utamanya. (Chorul anam, 1985,42)
Ketegangan politik masa itu juga menjalar hingga ke pelosok pedesaan Kabupaten Jember. Menurut Bapak Sulton Fajar (81) seorang tokoh gaek Masyumi Jember, ketegangan kekuatan politik Islam di Kabupaten Jember khususnya Masyumi dengan PKI secara nyata terjadi. Masing-masing kekuatan politik diantara keduanya saling serang dalam materi pidato yang mereka uraikan saat rapat-rapat umum. Akan tetapi yang perlu dicatat, meskipun berbeda secara politik, hubungan perkawanan masih terus terjalin. Karena dalam kehidupan keseharian hubungan --antar politisi yang sedang berseteru secara politik-- berjalan secara mormal. Konflik bagi mereka adalah sesuatu yang wajar. [17] Namun, mengingat adanya momentum politik seperti Pemilu, penggunaan agama menjadi legitimasi dari upaya panarikan massa rakyat tidak terhindarkan. Karenanya isu politik yang dibungkus dengan agama juga sangat menonjol di kabupaten Jember. Hal itu dikarenakan mayoritas penduduknya adalah pendatang dari Madura yang beragama Islam dan memiliki karakteristik tradisi menjunjung tinggi status Kyai. Mereka menyerang kekuatan politik Komunis dengan berbagai macam propaganda bahwa makna Komunisme bagi Indonesia lebih bermakna pejoratif.
Sementara itu PKI sendiri dengan sokongan penuh Barisan Tani Indonesia (BTI) yang pada awalnya asyik dengan slogan-slogan tentang reforma agraria. [18] Akan tetapi dalam perjalanannya (terpaksa) harus merespon berbagai serangan yang ditujukan kepada partainya. Mengingat isu reforma agraria sendiri masih belum dapat ditangkap oleh masyarakat pedesaan secara efektif. Mereka (PKI) kemudian beralih pada upaya untuk mengcounter serangan yang ditujukan kepadanya. Salah satu materi isu yang dilempar ke publik adalah berupa pertanyaan, Apakah Indonesia akan menjadi negara Islam. [19]
Pasca Pemilu 1955 yang telah berlangsung sangat demokratis ternyata bukan merupakan jaminan bagi lahirnya suatu kondisi sosial-politik semakin menuju ke arah yang lebih baik. Justru sebaliknya kehidupan politik di Indonesia semakin mengarah pada situasi yang tidak menentu. Kemudian disusul dengan adanya proses jatuh bangunnya kabinet menambah situasi eksperimentasi demokrasi yang dijalankan mengarah pada bentuk terfragmentasinya masyarakat ke dalam berbagai identitas golongan. Apalagi adanya proses politisasi dan mobilisasi dalam masyarakat sebagai akibat persaingan antar kekuatan politik. Menurut Rusli Karim (1993, 138) terdapatnya penyebaran kekuatan kerakyatan ke dalam etnis dan sentrifugalisme yang tampaknya dapat membawa Indonesia dalam kondisi impasse yang serius.
Berbarengan dengan itu, selama periode Demokrasi Terpimpin [20] ternyata pamor partai yang berhaluan komunis mengalami peningkatan dihadapan rakyat. Menurut banyak kalangan PKI merupakan organisasi politik yang paling serius dalam membangun partainya dari pada partai politik lainnya. Keseriuasan PKI diwujudkan dalam bentuk melakukan program turun ke bawah, yakni menerjukan banyak kadernya turun ke desa-desa guna tidak saja melakukan sosialisasi garis perjuangan partai. Lebih dari itu kader tersebut melakukan kajian tentang masyarakat petani miskin, kemudian turut aktif melibatkan diri dengan warga desa setempat guna melakukan pembangunan desa, pemberantasan hama serta kursus pemberantasan buta huruf. (Lebih detail lihat Rex Mortimer, 278-284). Sehingga banyak masyarakat miskin di pedesaan Indonesia yang masuk menjadi anggota PKI, karena orientasi kerakyatan yang begitu nyata. Masih dalam catatan Rex Mortimer, program semacam tersebut juga didesain untuk menumbuhkan kesadaran kelas bagi para kader partai ini di pedesaan, yang kebanyakan berasal dari latar belakang petani menengah daan bahkan kaya. Kerja serius itu setidaknya telah membuahkan hasil tidak saja memenangkan pemilu lokal tahun 1957 di berbagai daerah di Jawa. Lebih dari itu PKI juga mulai mendapat jatah kursi di pemerintahan yang sebelumnya tidak pernah mereka dapatkan. Situasi yang demikian membuat cemburu lawan politiknya, khususnya dari Partai yang berbasiskan Islam.
Adalah Masyumi yang semenjak kampanye menjelang Pemilu 1955 merupakan partai yang paling getol mensosialisasikan sikap anti komunisme di Indonesia. Pada tahun 1954 Masyumi membentuk Front Anti Komunis yang didirikan pada bulan September 1954 yang diketuai oleh Mochammad Isa Anshori (lihat Umar Hasyim, 1998, 249-250). Masyumi juga mempelopori acara Muktamar Ulama di Palembang pada tanggal 8-11 September 1957. Muktamar yang dihadiri oleh 350 Ulama tersebut menghasilkan rekomendasi berupa pengharaman komunisme di Indonesia. Rekomendasi dari Muktamar tersebut mendapat tentangan dari kekuatan Islam lainnya yang berbasiskan pada Majelis Ulama wa Altholabah. Sementara itu NU yang berusaha keras mempertahankan gagasan Islam tradisional guna tetap berada dalam sistem politik di Indonesia tidak bersedia mengirimkan delegasinya resmi ke Muktamar tersebut. (Ricklef, 1981, 393). Sikap anti komunis semakin tebal manakala Masyumi merasa bahwa PKI adalah partai yang menyebabkan mereka dikeluarkan dari circle kekuasaan Soekarno. Perasaan itu terus menerus direproduksi oleh kekuatan Islam dari kalangan Masyumi secara terus menerus guna membangkitkan emosi massa Islam terhadap warga komunis.
Sementara itu hilangnya nama Partai Masyumi dalam percaturan perpolitikan nasional akibat aturan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1957 [21] "memaksa" NU tampil sebagai unsur penyokong utama dari gagasan NASAKOM di atas. Pertemuan Tampaksiring, diwakili KH Idham Chalid membawa NU terserap dalam gagasan persatuan dan kesatuan yang dikembangkan Soekarno itu. Apa yang dilakukan NU merupakan tindakan terpaksa mendukung Presiden sambil mengharap akan maksud baik Soekarno, guna melindungi kepentingan politik NU. [22]
Pada saat bersamaan di tingkat nasional semangat revolusi belum selesai yang terus dikobarkan Soekarno membawa implikasi pada lahirnya proses radikalisme massa dan mobilisasi politik. Berpangkal dari sini berbagai kekuatan politik serasa mendapat legitimasi dalam rangka melakukan tindakan yang bersifat revolusioner. Mereka semua menjalankan peran pencarian dukungan massa dalam rangka jor-joran Manipol. Yang kemudian terjadi adalah bukan sekedar petunjuk dari meningkatnya proses politisasi dan mobilisasi politik serta radikalisme massa. Lebih disayangkan juga melahirkan proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang menonjolkan identitas sosial baik itu agama, ideologi, suku maupun kelompok. Implikasi yang kemudian harus diterima adalah terdapatnya konflik ideologi [23] secara terbuka antar kekuatan politik. (Irsyam, 1984, 41). [24]
Padahal nubuat politik Bung Karno sendiri ketika itu lebih menekankan pada; jangan saling gontok-gontokan sesamamu sendiri, berkompetisilah jangan berkokurensi, jor-joran tapi jangan dor-doran. Dan pada dasarnya konflik merupakan hal yang bersifat alamiah, sebagai fenomena yang dapat dipastikan muncul manakala berada dalam kerangka negara-bangsa seperti Indonesia. Di mana tidak hanya tumbuh dan berkembang beragam kebudayaan dan kebahasaan, tapi juga terdapat pluralitas kepentingan politik yang berkembang di sana. Persoalannya adalah terdapatnya suatu kekuatan politik yang berkeyakinan hanya melalui implementasi nilai-nilainya sebuah cita-cita kemaslahatan rakyat dapat dicapai. Rasa percaya diri yang berlebihan inilah yang kemudian membawa implikasi bagi terjadinya proses ideologisasi terhadap suatu bentuk kebenaran. Dalam khasanah ilmu politik, keyakinan yang demikian disebut sebagai kategori politik aliran (stream of belief), sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Clifford Geertz.
Hal itu diperparah oleh kondisi perekonomian nasional yang semakin mengarah pada titik yang paling terendah. Dalam catatan Ricklef (1981, 259) inflasi mulai meningkat rata-rata mencapai seratus persen pertahun dari tahun 1961 sampai tahun 1964. Juga dikatakan oleh Anne Both bahwa dalam pertengahan tahun 1960-an harga beras nominal adalah mencapai 100 kali harga pada awal tahun tersebut. Begitu pula dengan harga-harga bahan makan lainnya juga menunjukkan keniakan yang hampir sama dengan kenaikan harga beras. [25] Di samping itu menurut banyak sumber dari wawancara saya, pada kurun perempat awal tahun 1960-an terjadi kemarau yang sangat panjang. Akibatnya kehidupan pertanian dipedesaan mengalami proses gagal panen. Ditambah lagi munculnya hama tikus yang begitu meluas ikut merusak pertanian di pedesaan. Sehingga menimbulkan kelaparan di banyak tempat di pulau jawa. [26] Selain itu di tingkat nasional adanya kebijakan Menteri Pertama Juanda pada bulan Mei 1963 yang mengacu pada perundingan dengan lembaga keuangan internasional IMF, yang tidak pernah direstui oleh Presiden mampu mendorong lahirnya konflik yang bernuansa kanan-kiri. (lihat Feith & Castle, 1988) Pada akhirnya hampir semua konflik yang berlangsung kemudian selalu dikerangkai nuansa ini.
Awal Menuju Kekerasan
Secara nyata pada paruh awal tahun 1964 Jawa Timur menjadi wilayah terbesar di seluruh Jawa yang menjadi ajang konflik antar berbagai kekuatan politik di masyarakat. Jacob Walkin yang mengacu pada berbagai informasi dari harian yang ada di Jawa Timur, mencatat mayoritas konflik tersebut terjadi di daerah pedesaan, beberapa diantaranya antara pengikut PNI melawan pengikut PKI, tapi juga terdapat konflik antara PKI dengan petani miskinnya melawan kekuatan muslim dari kalangan NU dan eks Masyumi. Banyuwangi, Jember, Jombang, Kediri, Sidoarjo dan Bangil merupakan area dimana konflik antar kekuatan tersebut terjadi. [27] Akan tetapi dalam perjalanannya konflik diantara berbagai kekutan politik yang ada tersebut kemudian lebih tampak dipermukaan sebagai konflik antara kekuatan muslim berhadapan dengan kekuatan komunis.
Padahal yang perlu menjadi catatan adalah konflik yang terjadi pada waktu itu dipicu oleh dua rasa keengganan dari kalangan tuan tanah. Pertama, rasa enggan untuk merelakan sebagian tanahnya guna ditata kembali, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), sebuah undang-undang yang disahkan pada 24 September 1960. Kedua, rasa enggan untuk membagi hasil panen yang lebih besar kepada petani penggarap, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) yang disetujui pada bulan November 1959. Berangkat dari rasa keengganan tersebut kemudian muncul berbagai proses pensiasatan yang banyak dilakukan oleh kalangan tuan tanah untuk menghindari penataan hak atas tanah. Ada yang kemudian mengatasnamakan hak atas tanah kepada anggota keluarga. Hal itu dilakukan oleh semua kalangan tuan tanah, termasuk dari anggota PKI sendiri. Tindakan tersebut dikarenakan UUPA 1960 yang salah satu isu utamanya adalah landreform (redistribusi tanah) dan penataan ulang hak atas sumber-sumber agraria.
UUPA 1960 senditi merupakan produk hukum yang perumusannya banyak melibatkan organisasi tani yang ada di Indonesia. NU sendiri merupakan organ politik yang selama berkuasanya regim politik Orde Baru dikenal sebagai organisasi kontra terhadap aksi sepihak. Ternyata dalam sejarahnya, NU sejak awal sangat mendukung gagasan reforma agraria. Sebuah gagasan yang mencerminkan adanya upaya penegakan demokrasi ekonomi. Bahkan menurut Syamsir Muhammad [28] bahwa terdapat wakil dari Persatuan Tani Nahdlatul Ulama (Pertanu) yang sejak awal telah terlibat mempersiapkan RUU tersebut. Begitu pula menurut catatan Aminuddin Kasdi (2001, 131) dalam salah satu lampiran surat PBNU tanggal 19 Mei 1958 No. 008/Syur/U/W58 yang ditujukan kepada pimpinan fraksinya di DPR-RI menunjukkan NU disamping menyetujui UUPA juga sangat memperhatikan kepentingan petani miskin.
Selanjutnya PBNU menyarankan agar pemerintah mengambil langkah-langkah strategis guna peningkatan kesejahteraan petani, salah satunya adalah agar petani miskin itu tidak menjual tanah hasil pembagian tanah yang nantinya diterima, karena kemiskinan yang dialaminya. Atau paling tidak dalam memandang persoalan landreform pada prinsipnya NU menyetujuinya sepanjang gerakan tersebut tidak mengandung maksud guna melenyapkan hak milik pribadi maupun hak warga negara. Sebab menurut Islam hak milik harus dilindungi dan dipertahankan. Dalam hal ini NU mengajukan pendapatnya: mengajak pemerintah dan masyarakat guna mengarahkan perhatiannya kepada tanah-tanah di luar pulau Jawa yang masih kosong dengan jalan politik transmigrasi secara berencana dan serius. [29]
Tampaknya gagasan ideal tersebut mengalami hambatan yang sangat berat saat pelaksanaannya. Hambatan paling serius dalam pelaksanaan penataan ulang hak atas sumber-sumber agraria sebagaimana diamanatkan UUPA, bagaimanapun lebih bersifat politik ketimbang teknis pelaksanaan. Memang kendala teknis secara nyata juga terjadi di lapangan seperti tidak kunjung dibentuknya panitia landreform di beberapa daerah atau sudah terbentuk kepanitiaan namun dalam prakteknya cenderung terjadi proses penyelewengan oleh panitia sendiri dalam melakukan proses pendestribusian sumber-sumber agraria. Selain itu terdapat pula adanya proses pengkaryaan dari sebagian anggota militer untuk menguasai banyak wilayah perkebunan juga menjadi hambatan dari jalannya gagasan ideal ini. Hal yang terakhir inilah sesungguhnya titik lahirnya hambatan yang sifatnya politis dari proses pelaksanaan agenda landreform. Salah seorang mantan Panitia landreform di Jember menyatakan proses pengkaryaan salah seorang anggota militer kemudian bekerja sama dengan kalangan birokrasi baik di tingkat desa maupun di tingkat kecamatan yang kebetulan dari kalangan PNI dilakukan guna mengamankan sumber-sumber agraria dalam hal ini perkebunan sebagai asset ekonomi yang telah mereka kuasai. Adalah Sekar Daha (Surat Koordinator Penempatan Daerah) yang menjadi dasar bagi masuknya kekuatan militer guna penguasaan perkebunan-perkebunan eks-kolonial di seluruh Indonesia. Untuk perkebunan wilayah Jember dipimpin oleh seorang Kolonel yang bernama Sudihardjo Husodo. [30]
Pada titik inilah kemudian PKI sangat kecewa terhadap ketidakmampuan Pemerintah atas pelaksanaan agenda landreform sebagaimana diamanatkan oleh UUPA 1960. [31] Ketidakmampuan pemerintah tersebut segera dimanfaatkan PKI guna menjadikannya sebagai alasan pokok untuk menyelenggarakan rapat-rapat umum dengan harapan mendapat dukungan rakyat dan kaum tani di pedesaan. Central Comitee PKI mulai menerapkan strategi revolusioner ala Mao Tse Tung (China) yakni melakukan proses radikalisasi massa rakyat dengan cara memobilisasi massa rakyat. Strategi ini dilakukan dengan jalan aksi sepihak guna peningkatan militansi para pendukung PKI. Bagi PKI mobilisasi ini merupakan strategi yang berbeda dengan strategi sebelumnya yang dalam melakukan program konsolidasi partainya dengan sangat hati-hati, khususnya sepanjang tahun 1950-an.
Berawal dari gerakan aksi sepihak yang dicanangkan oleh PKI sejak tahun 1964 tersebut frekuensi dan intensitas kehidupan sosial-politik semakin cepat dan menunjukkan peningkatan suhu politik baik di tingkat nasional maupun lokal. Karena dalam praktek politik menjalankan aksi sepihak golongan komunis menggunakan analisa kelas, musuh dan kawan. Setidaknya ada tujuh musuh yang harus mereka ganyang, yang lebih dikenal dengan istilah tujuh setan desa, yaitu tuan tanah penghisap, lintah darat, tukang ijon, kapitalis birokrat (kabir), tengkulak jahat, bandit desa dan penguasa jahat. Mulailah mereka memobilisasi petani yang disertai janji manis guna menjalankan serangkaian aksinya.
Selain itu adanya ketentuan yang bersumber pada Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) tentang sistem bagi hasil yang baru, 60% untuk petani penggarap 40 % untuk pemilik. Situasi ini jelas menguntungkan posisi petani penggarap yang selama sebelum adanya kebijakan sistem pembagian hasil yang baru posisi petani penggarap mendapat hasil yang lebih sedikit. Dengan sendirnya situasi tersebut dapat membalik tatanan kehidupan sosial pedesaan yang sudah lama berlaku. Tanpa menyia-nyiakan hal itu, PKI dan BTI mulailah mengorganisasikan seluruh kekuatan petani penggarap untuk mendapatkan haknya yang sesuai dengan undang-undang tersebut. Dalam menjalankan aksinya mereka juga mengirim sebagian aktifisnya untuk menjalankan proses aksi sepihak di lain daerah. Menurut salah seorang aktifis Pemuda Rakyat wilayah Jember Kota yang saya wawancarai menyatakan dirinya sempat dikirim untuk melakukan aksi solidaritas dalam rangka menjalankan aksi sepihak di daerah perkebunan di Semboro, Jember bagian Utara. [32]
Aksi sepihak tersebut tidak saja dimaksudkan guna pelaksanaan agenda landreform sebagaimana diamanatkan oleh UUPA 1960. Akan tetapi pada tingkatan lain juga sebagai sarana perjuangan kelas sekaligus sebagai upaya peningkatan offensive revolusioner dalam rangka mempersiapkan perwujudan revolusi sosial. Menurut Onghokham (2002, 15) gerakan tersebut merupakan rongrongan terhadap pihak yang mapan di pedesaan dan di pedalaman. Tidak jarang pelaksanaan sistem bagi hasil dilakukan pembagian dengan secara paksa. Di dahului dengan aksi demonstrasi para petani penggarapnya yang dibantu oleh aktifis dari daerah lain, kemudian memaksa pemilik untuk segera membagi. Tindakan semacam dengan sendirinya sangat menakutkan bagi kekuatan yang mapan di pedesaan. Karena yang melakukan aksi ini adalah rakyat dari golongan yang betul-betul miskin, sehingga dalam menjalankan aksinya terkadang liar dan agitatif. Mereka (kekuatan mapan) hampir setiap hari mereka mendengar teriakan, ganyang tuan tanah, haji ini antek Masyumi, ganyang tujuh setan desa dan teriakan lainnya. [33]
Aksi tersebut semakin hebat dilakukan oleh kalangan komunis manakala ada semacam setengah dukungan dari Presiden Soekarno. Presiden Soekarno dalam pidatonya seringkali menyinggung adanya kekuatan yang bersifat komunistophobi. Guna meredam kekuatan tersebut Presiden Soekarno selalu menekankan pentingnya persatuan Nasakom di negara Pancasila. Menurut Onghokham (2002, 16) aksi sepihak malah senantiasa merongrong kewibawaan pemerintah. Karena dalam aksi sepihak selalu menciptakan suasana revolusioner serta vacuum kekuasaan yang justru dapat menjatuhkan pemerintah bila tidak dapat lagi mengkontrol keadaan. Tampaknya Presiden Soekarno tidak menyadari, kalau dukungannya tersebut malah meningkatkan resistensi kontra aksi sepihak, yang kebetulan didukung oleh kekuatan dari golongan muslim. Sementara itu bagi kalangan non-komunis aksi sepihak merupakan semacam provokasi dari pihak komunis untuk memancing lahirnya konflik.
Akan tetapi yang perlu dicatat, proses pelaksanaan agenda landrefom juga dilakukan oleh organisasi tani lainnya, seperti Pertani dari PNI bahkan juga dari Pertanu (NU). Kendati untuk Pertanu dalam prakteknya lebih banyak menunggu ketimbang mempelopori gerakan tuntutan demokrasi ekonomi. [34] Menurut salah seorang elit Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) [35] sendiri dalam perayaan hari kelahirannya pada tahun 1964 juga menegaskan pentingnya pelaksanaan agenda landreform. Bagi GP Ansor pelaksanaan UUPA harus dijalankan dengan menggunakan instansi yang berkompeten. Tidak bisa rakyat langsung melakukan panen sendiri atau menandur bibit begitu saja. [36]
Mengingat pendekatan yang digunakan oleh PKI dan BTI dalam menjalankan aksi sepihak menurut pandangan kalangan non-komunis tidak jarang menggunakan kekerasan dilakukan pada tempat yang memiliki massa komunis berjumlah banyak ketimbang daerah lain. Apa yang dilakukan oleh PKI dan BTI di di Semboro, daerah Jember sebelah utara yang memiliki pabrik gula, yang merupakan basis Sarikat Buruh Perkebunan Indonesia (Sarbupri), sebuah organisasi buruh perkebunan yang berafiliasi ke PKI. (Robert W. Hefner, 1999) Daerah tersebut memiliki faktor sejarah yang mendukungnya, yaitu pernah melakukan pemogokan buruh dan pembakaran lori guna tuntutan kenaikan upah pada tahun 1950-an. Namun bila jumlah massa pendukung dari proses jalannya aksi sepihak sedikit maka hanya ditimbulkan gejalanya saja seraya melindungi anggotanya yang memiliki tanah melebihi batas maksimum. Tidak sedikit anggota dan simpatisan PKI yang ada di Jember yang tanahnya memilik batas lebih dari maksimum kepemilikan tanah. Bahkan ada salah seorang elit PKI di Jember yang dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai orang yang memiliki tanah yang sangat luas. [37] (Bandingkan dengan Utrecht, 1969, 71-88).
Pada titik ini sebenarnya yang terjadi adalah telah berlangsung pergeseran tuntutan dari kalangan kaum tani (yakni perwujudan keadilan bagi kaum tani) berubah dipimpin oleh sebuah Partai Politik. Dalam pandangan elit PKI, bila ingin mewujudkan gagasan yang revolusioner seperti gagasan agenda reforma agraria maka rakyat harus dipimpin oleh Partai Politik yang revolusioner. Namun menurut salah seorang mantan anggota Panitia Lanreform yang kebetulan anggota Pertani [38] menyatakan tindakan PKI dan BTI itu mengesankan bahwa organisasi merekalah yang paling berjasa terhadap kaum tani Indonesia. Jelas ini mengecilkan peran serta organisasi kaum tani lainnya yang sama-sama memperjuangkan keadilan bagi kaum tani. Karena secara tiba-tiba gerakan dan tuntutan kaum tani saat itu harus dipimpin oleh satu partai politik yang menganggap dirinya paling revolusioner.
Implikasi lainnya bahwa perjuangan kaum tani harus berada dalam barisan partai politik adalah pertarungan yang terjadi kemudian tidak lagi berdasar atas persoalan pembagian dan pengelolaan hak milik atas sumber-sumber agraria serta pembagian hasil panen yang memenuhi rasa keadilan sebagaimana dituntutkan oleh kaum tani sendiri. Akan tetapi sudah mengarah pada pertarungan dan perebutan pemaknaan atas simbol-simbol tentang bagaimana masa lalu, sekarang dan mendatang berdasar atas altruistik kelompoknya dan kekuatan politik masing-masing. Di mana nantinya berlangsung sebuah proses guna mengidentifikasi berbagai penyebab dari persoalan dan menilai kadar kesalahannya, yang kesemuanya itu adalah upaya guna memberi makna partisan kepada sejarah kelompoknya.
Detail pertarungan tersebut sangatlah tidak manusiawi sebagaimana telah saya gambarkan sedikit di atas. Demonstrasi yang tergelar, baik yang mendukung maupun yang melawan, mengandung unsur fitnah dan pergunjingan yang menyesatkan, termasuk adanya julukan-julukan yang sangat kasar bahkan intrik-intrik politik yang menyesatkan yang kesemuanya itu mendorong pada proses lahirnya kekerasan fisik secara masif sebagaimana telah terjadi. Karenanya Morteimer (1969, 18) menganggap sebagai hal yang memiliki kewajaran, proses pengambilalihan hak atas sumber-sumber agraria berjalan secara paksa, yang berbuah suasana yang penuh ketegangan, perkelahian massal dan tidak jarang menimbulkan kematian. Sebagaimana terjadi di daerah Semboro, Jember bagian Utara, kekuatan kontra aksi sepihak melakukan perlawanan yang lebih hebat dan menimbulkan kematian salah seorang anggota BTI. Di awali dengan proses pematokan sawah salah seorang warga wilayah Semboro oleh kalangan pro aksi sepihak. Keesokan harinya orang yang tanahnya mengalami pematokan dengan dukungan pemuda dari kalangan Nasionalis dan Ansor melakukan pencabutan patok di sawah tersebut. Cabut-mencabut patok tersebut kemudian menjadi pemicu bagi perkelahian antar kekuatan tersebut yang menyebabkan kematian salah seorang anggota BTI. [39]
Tewasnya salah sorang anggota BTI tersebut, kemudian dijadikan alasan oleh PKI dan BTI untuk menuntut Pemerintah Daerah Jember guna menjadikan kader BTI yang mati tersebut menjuadi Pahlawan landreform. PKI dan BTI menginginkan terdapat acara penguburan secara formal dan jenasahnya sebelum di kubur ditutup dengan bendera merah putih. Namun tuntutan tersebut di tolak mentah-mentah oleh Pemerintah Daerah Jember yang didukung oleh Front Nasional Jember yang diketuai oleh Sudjarwo Bupati Jember, wakil ketuanya dari berbagai golongan baik dari PKI, PNI dan Abdullah Sidiq dari NU. [40]
Paling tidak dari demonstrasi yang sering kali digelar itulah, menurut salah seorang elit GP Ansor, masing-masing kekuatan mengetahui siapa-siapa yang terlibat dalam serangkaian aksi. Kekuatan yang mendukung mengetahui siapa-siapa yang berpengaruh dalam melakan kontra demonstrasi, begitu pula sebaliknya. Sehingga kenal betul antar kekuatan yang berbeda itu. [41] Pada akhirnya ingatan itulah yang menjadi sarana bagi proses kekerasan yang massif setelah peristiwa 1 Oktober 1965.
Situasi politik semakin tidak menentu, begitu pula dengan hubungan antar kekuatan politik semakin tegang manakala kehidupan sosial politik Indonesia mulai diwarnai politik isu yang dibungkus dengan persoalan keagamaan. Sampai sekarang saya masih kesulitan untuk menemukan alur, yang memulai isu bahwa gerakan aksi sepihak juga merampas tanah wakaf. Di Jember sendiri saya belum menjumpai adanya aksi sepihak yang berhubungan dengan tanah wakaf ini. Namun dengan beredarnya isu kalau tindakan aksi sepihak yang dilakukan PKI telah menyerempet wilayah sensitif yakni tanah wakaf maka benturan fisik diantara keduanya tidak terelakkan. Secara teoritik kalangan muslim menganggap tanah wakaf bukan milik pribadi melainkan milik publik dan merupakan bagian dari ibadah kepada Tuhan. Pondok Pesantren atau sekolah agama yang bertebaran di pedesaan di Indonesia penghidupannya bergantung pada wakaf dari para pemilik tanah yang kaya dan juga dari produksi tanah yang dikelola sendiri oleh pesantren tersebut. Sistem wakaf atau bantuan kepada lembaga-lembaga keagamaan ini sangat dihargai dalam hukum Islam. Sehingga pengelolaannya membutuhkan banyak tangan, di sana ada pengurus; yang dilakukan oleh seorang atau lebih dalam panitia yang mengatur agar sesuai dengan amanat yang telah mewakafkan kekayaannya. Berangkat dari kacamata ini tanah wakaf tidak bisa dan tidak mungkin jatuh dalam kategori objek landreform. Karenanya menurut kalangan muslim tidak perlu didaftarkan ke panitia landreform. Persoalannya kemudian adalah banyak tuan tanah yang melakukan proses wakafisasi kepada Kyai atau pesantren guna mendapat perlindungan dari ancaman agenda landreform. (Bandingkan dengan Kasdi, 2001) Kecurangan semacam ini pun tidak luput dari serangan kaum komunis. Inilah kemudian yang menyebabkan gagasan pelaksanaan agenda landreform mengalami pergeseran ke arah isu yang sifatnya dianggap sebagai tindakan anti agama.
Sedangkan di tingkat jajaran elit NU, merasa secara samar-samar dimasukkan dalam salah satu bagian dari tujuh setan desa yang harus diganyang oleh warga PKI. [42] Hal itu menjadi keyakinan dalam warga NU, karena dalam pidato-pidato yang dilakukan PKI menjelaskan apa dan siapa tujuh setan desa itu. Misalnya kaum feodal dan tuan tanah diyakini oleh kalangan NU sebagai upaya menyerang dirinya. Bahkan dalam berbagai demonstrasinya PKI tidak jarang menggunakan simbol-simbol haji yang kaya dan menjadi tuan tanah ditambah lagi teriakan-teriakan yang memojokkan simbol haji. [43] Ditambah lagi terdapatnya penggunaan istilah setan apalagi itu dilekatkan kepada diri kyai dan haji, pada titik inilah kemarahan kaum nahdliyyin sangat mudah tersulut. Sehingga yang lebih menonjol dalam praktek politiknya kemudian adalah bukan perjuangan ekonomi mengenai pembagian alat produksi secara adil demi tercapainya cita-cita kemaslahatan dan kemakmuran rakyat, tapi lebih mengarah pada sentimen keagamaan.
Rasa sentimen keagamaan semakin meningkat manakala terjadi peristiwa 13 Januari 1965 di desa Kanigoro Kediri, yang menurut Hefner (2001, 100-101) hampir-hampir menjadi mitos dikalangan masyarakat Islam di Indonesia. Di waktu subuh sekelompok besar kader PKI menyerang sebuah acara pelatihan yang dilakukan oleh organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) salah satu organisasi Islam yang dekat dengan kalangan Masyumi yang telah dilarang oleh Pemerintahan Soekarno. Setelah melalui bentrokan singkat, kader PKI berhasil menaklukkan para pemuda muslim tersebut, mengikat tangan para kader PII lantas menggiring para perserta training itu sejauh enam kilometer ke kantor polisi, di mana mereka ditahan dengan tuduhan kontra-revolusioner. Insiden tersebut ternyata menimbulkan rasa sakit hati yang mendalam bagi kalangan masyarakat muslim di Indonesia. Pers-pers muslim kemudian membesarkan insiden tersebut dengan melempar tuduhan para kader PKI telah menyerang dan merusak kesucian masjid, tempat ibadat umat Islam. Menurut Jacob Walkin (829-830) para penyerang tersebut dituduh telah melakukan penganiayaan terhadap seorang ustadz, guru mengaji yang menjadi pengajar pada training tersebut dan menginjak-injak Al-Quran, kitab suci umat Islam.
Pada dasarnya PKI ingin menegaskan bahwa yang menjadi problem bukanlah Islam atau masyarakat Islam secara keseluruhan, tapi kalangan Masyumi, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan PII yang kontra-revolusioner, termasuk PKI juga berupaya menegaskan bahwa pentingnya proses pendistribusian sumber-sumber agraria. Namun dalam prakteknya PKI menggunakan cara-cara yang sangat demonstratif. Hal itu tampak dari berbagai aksi yang dijalankan, salah satunya adalah demonstrasi guna menretool beberapa menteri penting dan pejabat di daerah yang dianggap berlawanan dengan garis perjuangan partai. Lebih hebat lagi terdapat agitasi politik dari front politik kiri untuk membubarkan Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). DN Aidit dalam ulang tahun PKI di Jakarta pada tahun 1965 mengatakan pada Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), kalau pada akhir tahun tidak dapat membubarkan HMI maka diakan menghadiahkan sarung pada CGMI. Begitu pula dengan sebagian warga masyarakat yang menjadi sasaran dari aksi sepihak oleh PKI adalah elit Islam di bawah, begitu juga serangan kepada organisasi Islam seperti di atas secara terus menerus hal ini secara sepihak dimaknai oleh pemimpin umat Islam bahwa dirinya dipaksa menyingkir dari arena politik keindonesiaan. Pada titik inilah kemudian menimbulkan perlawanan dari kalangan muslim dimulai dan lebih hebat ketimbang yang dilakukan oleh golongan komunis.
Guna menghindari kekerasan lebih lanjut, maka para elit PKI mengadakan evaluasi terhadap jalannya aksi sepihak. Mereka (PKI) mulai tidak mampu melakukan kontrol dan mengendalikan para anggotanya yang ternyata dalam prakteknya banyak sekali yang menjalankan program partai tidak menggunakan kaidah aksi revolusioner. Untuk scope peristiwa yang kecil, adalah sebuah peristiwa yang terjadi di desa Kelungkung, Kecamatan Patrang, Kabupaten Jember pada menjelang akhir tahun 1964 misalnya guna menyebut salah satu contoh. Rumah Haji Maruf salah seorang tokoh masyarakat sekaligus merupakan guru mengaji di desa tersebut di serang oleh Pak Tomo tokoh PKI di daerah tersebut pula yang dibantu oleh kurang lebih sembilan anggota Pemuda Rakyat dari desa Gebang. Pak Tomo dan para penyerang menganggap Haji Maruf sebagai tuan tanah. Mereka ingin menjalankan praktek aksi sepihak. Padahal Haji Maruf hanya seorang pedagang kaya yang kebetulan rumahnya menjadi tempat pendidikan Islam bagi santri-santri desa. Akibat serangan tersebut empat jari tangan sebelah kanan Haji Maruf hilang di tebas senjata tajam para penyerang. Melihat hal itu warga desa yang diorganisir Banser tidak tinggal diam, melakukan serangan balik yang jauh lebih hebat hingga kematian Pak Tomo. Mereka menganggap Pak Tomo dan kawan-kawan sebagai kawanan perampok. Karenanya Pak Tomo dikubur dengan posisi tidak wajar menurut tradisi setempat utara-selatan, tapi dalam posisi menghadap timur-barat. [44]
Sebagaimana realisasi tindakan aksi sepihak yang dilancarkan PKI dan BTI yang dianggap (dan ini diyakini betul oleh kalangan elit NU) banyak merugikan warga NU di berbagai daerah pedesaan di Jawa Timur. Maka Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur mendesak kepada Pemerintah Pusat agar tindakan aksi sepihak dinyatakan sebagai tindakan yang a-musyawarah, bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, serta dikecam sebagai tindakan yang bertentangan dengan instruksi Pejabat Presiden tanggal 15 Juni 1964. Bahkan secara tegas PWNU Jawa Timur mendesak agar tindakan aksi sepihak itu dinyatakan sebagai tindakan kontra revolusi. [45] Guna menindaklanjuti usulan dari warga Jamiyyahnya tersebut, pada tanggal 9 Desember 1964 PBNU mengutus delegasinya ke Kejaksaan Agung. Disertai oleh organisasi politik Islam lainnya, PBNU meminta Kejaksaan Agung guna lebih menarik perhatiannya kepada soal tersebut yang dianggap telah membahayakan persatuan nasional. Sebenarnya Presiden Soekarno sendiri telah mengeluarkan Intruksi Presiden tanggal 12 Juli 1964 agar semua perdebatan mengenai landreform dihentikan. [46] Menurut Hefner (2001, 106-107) jelas sudah PKI betul-betul keliru memahami kekuatan dirinya dan kelemahan lawan-lawan politiknya. Para elit PKI mulai sadar dan mengakui bawah kekuatan kontrarevolusioner berhasil merintangi segala bentuk kampanye yang mereka lancarkan di berbagai pedesaan.Pada akhirnya elit PKI semenjak bulan Desember 1964 mulai berusaha meredam aksi sepihak para anggotanya dan menarik diri dari kampanye landreform. (Rex Mortimer, 1972)
Tampaknya isu politik yang dibungkus agama pada tahun-tahun tersebut sudah semakin dominan, pada akhirnya menyebabkan berbagai upaya untuk meredam kekerasan yang terjadi di masyarakat sangat sulit dihindari. Apalagi berbarengan dengan itu PKI juga mulai secara provokatif melancarkan propaganda dalam gerakannya mengenai sikap anti agama, yang pada masa sebelumnya tidak pernah dilakukannya. (Walkin, 1969, 828). Hal itu terwujud dalam derita ludruk yang dimaikannya dengan lakon "Matinya Gusti Allah" guna menyebut salah satu contohnya, ternyata melahirkan lakon tersendiri pasca pertunjukan. Sikap terakhir ini yang kemudian mempertebal rasa sentimen keagamaan bagi kalangan muslim. Para elit muslim melihat apa yang dilakukan oleh PKI dianggap sebagai tantangan langsung terhadap otoritas mereka. Dengan demikian mereka tidak lagi melihat sebagai perjuangan demokrasi ekonomi tapi lebih sebagai sikap anti agama.

Hakekat Kekerasan

Sementara itu pada aras yang lain, selama berlangsungnya proses ketegangan kehidupan sosial-politik pada paruh awal tahun 1960-an, negara tidak mampu berperan sebagai fasilitator bagi keberlangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Negara tidak mampu membuka ruang publik seluas-luasnya guna terjadinya proses dialog, guna mengeliminasi konflik yang mengarah pada tindak kekerasan massif. Ironisnya pada tingkat tertentu (negara malah) secara diam-diam melakukan upaya militerisasi diseluruh lapisan masyarakat, dengan memanfaatkan watak resistensi dalam diri masyarakat yang ditandai dengan munculnya kekuatan paramiliter.
Ketidakpastian kehidupan sosial-politik ditambah dengan tidak tersedianya penjelasan teoritik maupun historis yang memadai terhadap berbagai peristiwa politik yang bertubi-tubi menimpa republik ini, mulai dari Madiun affair, carut marutnya kehidupan parlemen hingga pemberontakan PRRI-Permesta ternyata melahirkan pemahaman politik yang bersifat dendam. Di mana pihak yang kalah selalu diingat akan kesalahan yang telah diperbuatnya sebagai sesuatu yang mutlak dan tidak diijinkan kembali ke panggung politik. Bahkan bila terdapat momentum politik, maka pihak yang kalah harus pula ikut ditumpas dan dijadikan sasaran kesalahan yang sedang berlangsung.
Hal tersebut dapat mempermudah negara guna mendorong proses militerisasi terhadap kalangan masyarakat sipil. Semenjak tahun 1957 kalangan militer --khususnya dari Angkatan Darat-- sudah mulai membangun kekuatan politik dengan kekuatan di luar militer dalam bentuk Badan Kerja Sama Pemuda dan Militer (BKSPM). [47] Organisasi tersebut bagi sebagian elit Angkatan Darat merupakan sarana guna meningkatkan peranan di bidang sosial-politik. Semenjak itu pula Angkatan Darat melakukan serangkaian kerja sama dengan golongan masyarakat yang bersifat fungsional, baik itu berupa partai politik maupun organisasi massa. Terdapat banyak golongan fungsional yang berafiliasi dengan partai-partai politik membangun dan membentuk badan-badan kerja sama dengan kalangan militer, termasuk salah satunya adalah organisasi kaum Nahdliyyin. (Ricklefs, 1998, 391) [48]
Pola kerja sama dengan kalangan sipil tersebut yang dilakukan oleh sebagian elit Angkatan Darat tidak sekedar guna meningkatkan peranan mereka di bidang sosial-politik belaka. Lebih jauh dari itu Angkatan Darat sangat berkepentingan atas keamanan dan pengamanan asset-asset ekonomi yang telah mereka kuasai semenjak proses nasionalisasi perusahaan, perkebunan dan pertambangan milik asing. [49] Terdapatnya gagasan reforma agraria yang salah satu isu utamanya adalah landreform (redistribusi tanah) dikuatirkan dapat mengganggu penguasaan atas berbagai sumber ekonomi yang sudah dipegang Angkatan Darat. Kekuatiran tersebut semakin meningkat manakala PKI sebagai lawan politik utama dari Angkatan Darat mulai melancarkan gerakan aksi sepihak.
Tampaknya telah menunjukkan keyakinan yang sifatnya umum bahwa asal-usul segala ketegangan kehidupan sosial-politik di republik ini pada tahun-tahun 1960-an adalah berpangkal dari persaingan politik antara dua kekuatan, yaitu komando tinggi TNI-AD dengan PKI. Masing-masing pihak menganggap pihak lain bertentangan secara mendasar baik itu pada tingkat kepentingan daerah maupun di tingkat nasional. Masing-masing berkeinginan pula untuk saling menyingkirkan dari pengaruh politik sejauh mungkin. Dan semenjak adanya kebijakan aksi sepihak dari elit PKI itulah kemudian yang dijadikan momentum oleh kalangan TNI-AD yang anti komunis, terutama KOSTRAD dan RPKAD bergerak cepat untuk menghancurkan PKI dengan memberi dukungan pemasokan senjata dan training civilian vigilante.
Karenanya --dengan alasan yang sangat berbeda-- Angkatan Darat menyokong secara penuh adanya gerakan kontra aksi sepihak dengan membangun kekuatan paramiliter; yang salah satunya dilancarkan oleh Banser. Dan guna mendorong perlawanan secara terus menerus dari Banser terhadap kekuatan aksi sepihak golongan komunis, kalangan elit TNI Angkatan Darat berusaha meningkatkan kemampuan kemiliteran Banser dengan cara mendidiknya secara khusus, baik itu yang dilakukan oleh Kodim, Korem, KOSTRAD maupun RPKAD. Menurut KH. Tholchah Hasan yang dicatat oleh Agus Sunyoto (1996, 76) keberdaan Banser di Malang menjelang pertengahan tahun 1965 baru mendapat pelatihan dan pembinaan secara serius setelah adanya bantuan dari RPKAD.
Banser
Banser adalah sebuah institusi yang tumbuh dan berkembang dalam diri Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) sebuah o
SOSOK DR.(HC.) KH. ABDUL GHOFUR

Abdul Ghofur, Kiai Berwawasan Lingkungan
Di tengah-tengah keprihatinan bangsa Indonesia soal lingkungan hidup. Dari ujung pantai Utara pulau Jawa, ada sosok kiai yang mampu melakukan perubahan sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya lewat budidaya tanaman.


Akibat harga bahan bakar minyak naik, sejak Oktober 2005, masyarakat pesisir daerah Paciran Lamongan Jawa Timur jadi kelimpungan. Mereka yang sehari-hari sebagai nelayan begitu terpukul. Harga bahan bakar tak sepadan dengan harga penjualan ikan hasil tangkapan. Kata pepatah, lebih besar pasak daripada tiang.

Untung, mereka diselamatkan buah mengkudu. Lho buah kok bisa menyelamatkan? Bukan begitu. Mereka terinspirasi dari budidaya mengkudu yang digagas oleh Abdul Ghafur. Pria yang sehari-hari sebagai pengasuh pesantren Sunan Drajat ini mengajak masyarakat untuk membudidayakan mengkudu. Menurutnya, budidaya mengkudu itu mudah. Dan juga, kandungan vitamin C-nya yang tinggi, bagus untuk tubuh melawan bakteri dan virus.

Di pesantrennya, ia membudidayakan mengkudu di atas lahan seluas 40 hektar. Tanaman ini tidak gampang mati meski di daerah yang kering, seperti di Lamongan. Ide ini sejalan dengan keinginan Pemerintah Kabupaten Lamongan. Hanya saja, penanaman mengkudu baru berhasil ketika kiai Ghofur, sapaan akrabnya, mampu menarik hati masyarakat untuk melakukan budidaya jenis tanaman ini.

Kiai kelahiran Paciran, 12 Februari 1949, ini juga telah membangun industri pengolahan dan pemasaran mengkudu. Jangkauan pemasarannya tidak hanya dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Untuk pasar dalam negeri, ia menggunakan sari mengkudu, sedang untuk pasar Jepang, ia menggunakan ekstrak mengkudu.

Kemasan lain pemasaran mengkudu yang dilakoninya adalah mengkudu sebagai alternatif bahan baku pakan ternak. "Vitamin C-nya yang tinggi diharapkan bisa meningkatkan daya tahan ayam terhadap flu burung," terang kiai keturunan ke-15 Sunan Drajat, salah satu dari Wali Songo itu.

Atas keberhasilan budidaya mengkudu, yang kemudian berepengaruh pada perubahan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar, akhirnya mengantarkan KH Abdul Ghofur mendapat Kalpataru 2006 dalam kategori Pembina Bidang Kebersihan dan Lingkungan. Penghargaan itu diserahkan Presiden Yudhoyono di Istana Merdeka, Senin 12 Juni.

Selain mengkudu, pesantren yang terletak di Banjaranyar Paciran itu juga memproduksi pupuk majemuk, pupuk organik, industri bordir, dan koprasi sebagai sumber-sumber penghasilan. [Dari berbagai sumber, terutama Kompas]

Pengikut